Dilemanya Jadi Perempuan

Ya seperti judulnya, jadi perempuan itu dilema. Sudah lama ini ada dipikiran, tapi setelah semakin melewati fase hidup, semakin teryakinkan, sehingga yang tadinya tidak mau menyuarakan, kini mulai mempertimbangkan. Setidaknya mengungkapkan isi hati seperti yang sudah-sudah. Yang baca, boleh sepaham boleh tidak.

Menjadi perempuan, apalagi di zaman sekarang, bukan sembarangan tantangannya. Memang bukan lagi memperjuangkan emansipasi seperti masa R.A. Kartini dulu yang tujuannya adalah kesetaraan dengan kaum adam. Sekarang memang pendidikan, pekerjaan, suara, dan kesempatan-kesempatan yang lainnya bisa lebih terbuka diakses oleh wanita, tapi siapa bilang sepenuhnya setara? Stigma masih melekat kuat, meskipun banyak yang mulai paham bahwa setara bukan berarti sama. Apalagi bersuara seperti ini, sebagai perempuan muslim jadi jauh lebih tricky dan harus hati-hati karena semua ada porsi dan posisinya. Tidak lebih dan tidak kurang agar tidak menyalahi kodrat. Tidak pula terlalu ekstrem agar tidak dicap feminis dan liberal. Sampai di sini saja sudah rumit bukan?

Berkat perjuangan R.A. Kartini dan pejuang hak-hak wanita lainnya, pendidikan memang sudah bisa diakses. Perempuan bisa punya pengetahuan lebih luas dan bisa jadi lebih pintar dari perempuan-perempuan sebelumnya. Tapi perempuan tidak boleh terlalu pintar, kalau masih ingin didekati lelaki. Begitu kata stigma.

Kini perempuan bisa punya kesempatan untuk berkarir dan berkarya, tidak dibatasi hanya kasur, dapur, dan sumur seperti dulu. Tapi tidak boleh terlalu sukses, kalau tidak mau dipandang sebelah mata dalam mengurus keluarga dan rumah tangga. Jika sukses, orang akan berkata wajar asistennya yang bantuin ngurus rumah dan anak ada banyak ini kan. Jika biasa saja juga orang akan berkata, wajar perempuan harus bisa bagi waktu ngurus keluarga juga. Tapi ketika masih berjuang untuk sukses orang akan berkata, toh nanti juga setelah menikah dan punya anak tidak akan seprogresif ini lagi. Di sisi lain jika memilih mengabdi untuk keluarga, malah diremehkan dan dikatakan pendidikan tingginya sia-sia. Belum lagi anggapan perempuan tidak boleh lebih unggul karir dan finansial dari suaminya (atau pihak laki-lakinya), jika tidak mau dianggap merendahkan dan mengambil kehormatan suami. Begitu kata stigma. Membuat beberapa kali kesempatan perempuan di luar sana untuk bersinar harus sirna.

Dilemanya jadi perempuan, ketika di sekolah ditanamkan harus cerdas, berprestasi, dan bercita-cita tinggi. Diajarkan bahwa perempuan juga bisa berkarya, bahwa perempuan juga bisa dan boleh memimpin. Namun ketika mulai berkeluarga, dikatakan pula bahwa peran perempuan yang paling utama adalah dalam keluarga sebagai istri, ibu, baru kemudian sebagai diri pribadi, lalu masyarakat. Seolah keduanya saling bernegasi. Atau hanya aku yang belum mengerti?

Satu saja syaratnya, support system yang kuat dan solid agar perempuan dapat menyeimbangkan semua perannya. Menjadi istri sholehah, ibu yang menginspirasi, bahagia dengan diri sendiri, dan bermanfaat bagi masyarakat. Tidak mudah, kata yang sudah menjalankan keempat perannya sekaligus. Tapi bisa, jika Allah izinkan. Support system inilah yang perlu dibangun pemahamannya dan kesepakatannya. Suami yang mendukung dan membantu, keluarga yang menerima, teman-teman yang tidak toxic, agar jangan sampai mimpi dan cita-cita perempuan-perempuan ini tidak terbunuh karena stigma.

Perempuan dan segala dilema dan tantangan dalam kehidupannya membuat ia harus cerdas dan multitasking untuk bisa menjadi apa saja yang ia butuhkan. Ia harus pula kuat hatinya dan tangguh jiwanya untuk bisa memutuskan kebenaran yang dipilihnya dengan berpegang ilmu dari-Nya.

Untuk perempuan-perempuan di dunia, kalian luar biasa dengan jalan cerita masing-masing.

Comments

Popular Posts