Asih, Asah, Asuh

Asih, asah, asuh. Sebuah nasihat menarik yang kudengar dari budheku ke sepupuku saat ia baru saja menyelesaikan ijab qabul pernikahannya. "Pokoknya dalam pernikahan yang asah, asih, asuh, ya nduk."

Sederhana saja, tapi bagiku sangat dalam maknanya. Aku memang baru sebentar berumah tangga. Belum banyak asam garam kehidupan rumah tangga yang kumakan. Tapi aku tentu punya visi dan rencana seperti apa kehidupan rumah tangga yang ingin kutempuh, yang ternyata jika dirangkum kurang lebih bisa saling asih, asah, asuh.

Asih
Saling mengasihi, saling menyayangi. Tentu semua orang ingin hubungannya dilandasi dengan kasih sayang, bukan? Asih itu bisa diwujudkan dengan memberikan perhatian kepada orang yang kita sayangi. On the next level, ini artinya adalah rela berkorban. Rela berkorban demi melihat orang tersebut bahagia. Sounds bucin ya? Ya tapi memang begitu.

Kalau kita lihat dari hubungan berpasangan, mungkin bisa jadi agak bias. Tapi kalau kita lihat pada hubungan ibu dan anak (yang sekali pun tidak sempurna), bisa menjadi contoh yang lebih relevan. Aku rasa, ibu dan anak yang sehat mentalnya pasti akan menyayangi anaknya setulus hati. Dan kita tahu sendiri bukan, apa yang dilakukan seorang ibu untuk anaknya? Ia memberikan perhatian. Ia juga memberikan pengorbanan. Pengorbanannya pun tidak jarang merupakan hal-hal yang sangat berharga. Fisik, waktu, finansial. Ada ibu yang rela mengorbankan pekerjaannya demi untuk anaknya. Ada juga ibu yang rela tidak makan demi anaknya saja yang makan. Mungkin akan ada orang yang mengkritisi, ya salahnya sendiri resign dari kerjaan! Pake nyalahin anak atau bawa-bawa alasan anak lagi! Even worse, akan ada yang mengatakan, ya salahnya sendiri punya anak! There are some considerations and for some people it is not that simple dear darling. Anyway, yang mau kugaris bawahi adalah itu. Sebagaimanapun tidak sempurnanya perlakuan orang tua kepada anaknya. Aku selalu yakin bahwa itu semua landasannya adalah kasih sayang yang tumbuh bahkan sejak sebelum bertemu dan si anak masih di dalam kandungan.

Saling mengasihi dalam kerelaan itu sendiri juga berarti menurunkan ego. Yang mana sering kali implementasinya juga tidak mudah. Semua orang terlahir punya ego. Tinggal seberapa rasional kah ego yang kita miliki. Pasti ada kalanya kita harus mengkompromikan ego kita saat menjalani hubungan dengan seseorang, mau itu orang tua, teman, maupun pacar/suami. Di sini lah, jika rasionalitas tidak dapat menyelesaikan, perasaan kasih lah yang terlibat dalam perhelatan ego. Kasih akan memampukan kita menurunkan ego for greater good. Tentunya ini harus dibarengi dengan komunikasi yang baik agar semua berjalan dengan enak dan tidak ada yang perlu makan hati walaupun harus menurunkan ego.

Asah
Kalau dilihat artinya secara harafiah, asah itu mempertajam atau menggosok agar lebih tajam. Itu pula lah yang seharusnya terjadi dalam pernikahan dan aku harap terus terjadi dalam pernikahanku. Saling mengasah atau at least saling mendukung agar terus terasah. Berlaku dalam hal apa saja yang memberikan manfaat untuk kita, untuk keluarga, atau untuk masyarakat.

Hal simple yang kemarin sempat kami lakukan adalah kita kasih challenge ke masing-masing pasangan buat jadi mentor kita di hal yang kita inginkan. Suamiku minta aku ajarin dia renang sampai bisa, aku minta suamiku ajarin IELTS dengan target score minimal 7.5 dan ajarin nyetir mobil manual (aku bisanya automatic). Tapi sayangnya belum sempat kita mastering those skills, keburu harus stay at home karena corona :(

Bayangin aja, kan seru banget ya kalau in your relationship journey you also grow together. Bahkan lebih seru lagi kalau pasangan kita yang jadi main factor atas development kita itu. Like, we are really being significant in their life.

Asuh
Di kbbi, asuh itu artinya menjaga; membimbing. Intinya dalam keadaan sehat, sakit, susah, senang, pasangan itu diharapkan bisa saling menjaga dan membimbing. Saling mengasuh. Aku rasa ini terjadi otomatis dan beriringan sih. Ketika orang saling mengasihi, secara bersamaan pasti ingin saling menjaga juga. Nggak pengen salah satunya ada yang sakit stay menderita.

Nggak cuma menjaga fisik, tapi juga menjaga perasaan. Nah menjaga perasaan ini adalah hal yang kadang susah-susah gampang. Makanya, berpasangan itu berarti juga belajar seumur hidup. Belajar memahami dan menghadapi pasangan in and out karena bisa aja suatu hari kita merasa paham menghadapi dia dalam situasi A, tapi ternyata di masa depan pas situasi A terjadi lagi, dia udah berubah ketambahan faktor B, C, dan D sehingga cara menghadapinya harus berubah juga. Constant communication and compromise are some keys to overcome the obstacles.

So, that's my thoughts. Nulis ini banyakan sotoynya sih daripada personal experiencenya. Cuma ya udah dipikirkan secara logis juga. Walaupun dalam prakteknya mungkin belum sempurna di sana sini. Oya, selain saling asih asah asuh, santai aja gitu bro sis sehari-harinya. Pernikahan memang bukan sesuatu yang main-main, tapi chill dikit lah biar santai dan nggak spaneng. Biar jalaninnya penuh keseruan dan kebahagiaan gitu. Agree, no?

Comments

Popular Posts