The KKN Story

Strolling around old documents and ended up here. Dibaca ulang lalu jadi pengen ngepost di sini. Sebuah cerita yang memakan berbulan-bulan menulisnya, sejak KKN sampai 2 bulan setelahnya. Terakhir ditulis 2 Oktober 2016, lebih dari 1 tahun yang lalu. I warn you that this is a super long story, perhaps the longest I've ever posted. You might get bored reading them, so just skip them. But this story is emotionally attached to me so I post it anyway. So here we go! 

#BeforeKKNLyfe
Ribet.
Satu kata yang selalu ada dibenak saya setiap terpikirkan dan tersadar bahwa akhirnya waktunya datang juga. Beban kuliah lagi berat-beratnya di semester 6, nambahin pikiran saja. Saya adalah satu dari sekian yang pada awalnya sangat apatis pada program ini. Halah, cuma KKN saja. Yang penting sudah menjalani dan dapat nilai sebagai syarat lulus dan syarat perkuliahan di kampus yang katanya kampus kerakyatan ini saja sepertinya sudah cukup. Memang sempat terpikirkan untuk nyambi jalan-jalan. Tapi akhirnya saya lebih memilih untuk lebih tak ambil pusing dan yasudahlah nanti saja. Ketika orang lain sudah jadi pengusul dan mulai ribut, saya masih pasrah dan yasudahlah nanti saja. Tidak papa jika memang harus di Jogja atau yang dekat-dekat saja, begitu pikirku. Namun, takdir berkata lain. Seorang teman yang janjian untuk KKN bersama denganku datang membawa harapan. Seolah semesta mendukung, akhirnya kami diundang ke satu grup yang kemudian menjadi tim KKN kami. Terimakasih Qani, kalau bukan karena kamu, mungkin cerita indah ini tidak akan pernah ada di hidupku.

Perjalanan menuju KKN yang sebenarnya bisa dibilang tidak sederhana. Terlebih bagi mereka yang sejak awal menjadi pengusul. Kas kami dimulai dari 0. Pelan-pelan dia mulai terisi pundi-pundinya dari uang iuran rapat rutin, jualan, dan sunmoran. Setiap minggu kami rapat. Dan di setiap minggu kami rapat, aku tak pernah banyak bicara. I was a very quiet girl, Adam said. Selain karena baru kenal, saat itu aku masih kurang tertarik dengan hal per-KKN-an itu. Masih sekedar untuk memenuhi tanggung jawab dan supaya tidak didenda saja. Terdengar jahat ya? Tapi memang begitulah awal mula cerita ini dimulai.

Satu hal lagi. Pada awalnya aku juga lah orang yang sulit percaya bahwa akan ada pertemanan pasca KKN. Yang ada dipikiranku, KKN ya KKN. Setelah ini semua berakhir, maka kami akan kembali ke realita dunia nyata dimana kami hanya sebatas kenal. Setelah semua berakhir, ya sudah hubungan yang terjalin adalah hubungan profesional. Aku belum bisa percaya dengan kekuatan ‘tinggal satu atap selama dua bulan’. Apakah lagi-lagi ini terdengar jahat? Tapi memang begitulah ekspektasi yang ada di kepalaku tentang KKN. 

But then i realized,
These people of Al-Maroni family play big, important part of my life. I’ll miss them everyday.

#KKNLyfe
20 Juni 2016.
Awal dari kisah 49 hari bersama orang-orang yang belum kukenal, yang belakangan akhirnya menjadi orang-orang yang memberi kenangan. Aku tergopoh-gopoh berlari kecil dari KPFT lantai 3, usai mengurus beberapa surat mitra yang kubutuhkan. Lelah dan terengah-engah, juga kepanasan karena aku sudah memakai baju agak hangat sebagai persiapan awal menghadapi shock perbedaan iklim. Sampai di GSP tempat berkumpul kami, teman-temanku sudah mencari dan menghubungiku rupanya. Aku terlambat. Awal yang buruk, ya?

Sampai di sana, kesan pertama sudah bisa ditebak. Satu saja, dingin. Kami hijrah dari kota bersuhu 31° ke kota bersuhu 13° dalam beberapa jam saja. Ditambah lagi, malam pertama kami hujan. Kabut sangat tebal. Kami yang belum terbiasa dengan cuaca di sini tidak bisa melepaskan jaket dari tubuh kami. Tapi di akhir masa tinggal kami di sini, kami sudah biasa melewati hari-hari dengan sejuntai kaos oblong dan bisa pergi ke Dusun Tempuran – tempat yang lebih tinggi dan dingin – naik motor tanpa jaket. Sebegitunya kami beradaptasi, sampai kami sudah bisa bertingkah seperti warga lokal.

Kami berangkat pada bulan Ramadhan, sekitar 2 minggu sebelum lebaran. Di awal kedatangan kami, kelangsungan hidup kami berupa makanan masih dijamin oleh Ibu Kadus Tempuran yang bersedia berbaik hati memasakkan kami. Aku ingat, menjelang buka kami yang piket (piket dibagi bergantian seminggu sekali dan satu hari 2 orang) mulai kelabakan harus memasak nasi, membeli galon, dan mengambil makan di rumah Ibu Kadus. Lalu kami akan menyiapkan makanan tersebut beserta setumpuk piring di dunia atas – lantai 2 rumah putih kami yang berlapis karpet hijau, tempat tinggal para lelaki. Sementara Putri akan sibuk membuat jelly di dapur, yang kemudian dicampur dengan pisang, sirup, dan susu untuk takjil kami. Tidak lupa juga Putri pasti membeli es karena dia suka sekali minum es, tak peduli sedingin apa hawa Maron. Sedangkan aku dan Qani diberi jobdesc memotong jelly dengan perhitungan tertentu supaya adil. Setiap kali adzan maghrib berkumandang, makanan langsung diserbu dan disantap. Malam harinya biasanya ada yang membutuhkan asupan ekstra. Entah itu beramai-ramai masak mi, makan nasi lagi, atau ada juga yang membuat energen. Mungkin karena hawa di sana dingin jadi cepat lapar.
Untuk sahur kami tak perlu lagi khawatir. Semua sudah disiapkan juga oleh Ibu Kadus. Kami hanya perlu bangun sedikit lebih pagi untuk menghangatkan makanan. Itu tugas untuk yang sedang piket, selain membangunkan teman-teman yang lainnya. Buka puasa dan sahur di Maron selalu menyenangkan untuk diingat lagi. Suasana selalu terasa hangat. Makanan yang seadanya itu ditata rapi berjejer di karpet hijau, bersama dengan magicom penuh nasi, dan setumpuk piring serta sendoknya. Tidak lupa pelengkap makanan untuk yang suka pedas seperti Boncabe (penemuan tercanggih abad 21 versi Tito) dan abc sambal terasi (love of life nya Afifah) serta pelengkap makanan untuk yang tidak suka pedas seperti kecap dan saos. Sebentar saja setelah makanan terhidang di sana, kami akan berkumpul. Yang perempuan akan berbondong-bondong naik ke lantai 2 dan yang laki-laki akan mengangkat badannya yang sedang tiduran di kasur. Baru kali ini, aku merasakan puasa tidak di rumah tapi seperti di rumah. Benar, mereka sudah seperti rumah yang lain bagiku.
Buka Bareng Maron

Rumah putih kami cukup unik. Terbagi jadi dua lantai dan di masing-masing lantai ada pintu yang menghubungkan ke dunia luar yang dingin. Antar lantai pun diberi sekat pintu – pintunya pun terbagi 2, pintu atas dan pintu bawah – di bagian tangganya. Memudahkan kami para perempuan berhijab agar mempunyai akses pribadi. Kami para perempuan tinggal di lantai 1 – yang selanjutnya kami sebut dunia bawah. Hawanya selalu lebih dingin dan selalu dingin karena kekurangan cahaya matahari yang masuk. Karena itu, ketika udara di bawah dingin tak manusiawi kami sering menyebutnya kulkas dua pintu. Tidak seperti dunia atas yang hanya beralaskan karpet, dunia bawah lebih empuk. Area tidur kami full beralaskan kasur, walaupun hanya kasur busa dan kasur lipat. Cukuplah membuat kami tertarik gravitasi hingga tertidur nyenyak sepanjang malam tanpa harus tetusuk-tusuk dinginnya lantai. Beberapa kali kami mengubah posisi tidur kami. Karena mau tidak mau area berukuran sekitar 6x7 m itu harus cukup untuk kami 8 orang perempuan tidur, koper-koper kami, dan 5 buah motor juga 1 motor transformer Baba. Ditambah lagi kami punya pola tidur yang berbeda-beda. Ada yang kalau tidur bisa lurus dan diam, ada yang yoga, ada yang menekuk kaki. Perjalanan menuju tidur saja bisa menjadi hal yang unik dan menarik untuk kami. Isti dan Afifah, dua orang yang battery life-nya sangat singkat selalu tidur paling awal, bahkan jam 8. Seringkali mereka tidur kebablasan kesana kemari karena tempat masih luas, menggusur teman di sebelah-sebelahnya.

Aku sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di dunia atas. Selain karena hampir setiap hari aku dan Qani “sekolah” di depan laptop menggarap program perancangan pariwisata, dunia atas lebih hangat dan banyak sinyal. Hawa dingin, kasur, bantal, dan selimut yang melimpah di dunia bawah membuatku selalu saja ingin merebahkan badan dan berakhir tidak produktif. Beberapa kali aku turun lebih cepat ke dunia bawah untuk sekedar ber-golden time ria – sebutan kami untuk setiap obrolan dan gosip-gosip yang kami bagi – dengan teman-teman perempuanku atau menonton stok film-film Syva. Setiap malam ada agenda memasukkan motor-motor ke dunia bawah. Motor ditata rapat-rapat, harus cukup untuk semuanya. Lalu kami satu per satu akan kembali ke atas dengan alat tempur kami, sikat gigi, odol, dan sabun cuci muka. Kami kembali ke bawah, mematikan lampu, merebahkan diri, menarik selimut, dan bercakap-cakap hingga terlelap.

Malam yang panjang selalu menjadi waktu yang tepat untuk pikiran melintas kesana kemari sesuka hati. Kuingat lagi, tak pernah ada di bayanganku perjalanan KKN akan seperti ini. Aku selalu underestimate pada KKN. Aku tak pernah percaya pada pertemanan KKN atau hal-hal lucu, manis, atau hangat lainnya akan terjadi karena KKN. Tapi di sinilah aku, di atas kasur dan di bawah selimutku, di tengah teman-temanku, tidur berpepes-pepe ria sambil tersenyum karena syukur atas semuanya. Sedikit demi sedikit mulai percaya aku akan bahagia seperti di rumah.
Sesungguhnya KKN bukanlah hal pertama yang membuat lebaranku menjadi terpisah jarak dan waktu oleh keluarga dan rumah. Beberapa  tahun sebelum ini, aku pernah lebaran di tanah rantau juga ketika pertukaran pelajar di Australia. Tapi waktu itu aku sempat menangis karena kesepian saat malam takbiran dan sebelum sholat ied. Kali ini, beberapa malam menjelang lebaran aku mulai was-was akan mengalami homesick atau rindu dan kesepian yang sama seperti waktu itu. Pernah di suatu malam, aku memikirkan akan seperti apa lebaran di sini. Apakah kami akan terkucil dan kesepian? Apakah suasana akan hangat seperti di rumah? Apakah kami akan makan opor? Apakah kami akan bersilaturahmi? Dan sebagainya.
And it turned out like everything was fine. Maron has been my other home. And always be remembered. Really.

Lebaranku hangat, ramai, tak pernah sekalipun aku merasa kesepian. Takbir berkumandang dimana-mana. Pawai sepanjang malam. Silaturahmi dari rumah ke rumah dan semua menyuguhi kami makan dengan berbagai lauk pauk yang lengkap. Seolah tahu selama di sini kami selalu makan tempe tahu telur again and again. Benar-benar perbaikan gizi sampai kekenyangan. Sampai akhirnya aku meninggalkan rumah putih itu sejenak untuk kembali ke rumah melepas rindu barang sebentar.

Selanjutnya setelah puasa kami memulai hari dengan cara yang berbeda-beda. Satu hal yang pasti sama adalah kami akan dibangunkan pagi hari pukul 5 oleh Isti atau Afifah. Lalu kami para perempuan akan naik ke dunia atas satu per satu, ke kamar mandi untuk mengambil air yang volumenya tak seberapa karena kami selalu kekurangan air, berwudhu, lalu menggigil kedinginan. Selepas sholat subuh pun bermacam-macam yang kami lakukan. Mayoritas dari kami akan kembali tidur ditemani lantunan tartil Isti yang merdu, sementara Mas Puji mungkin sudah akan sibuk di dapur atas, memasak nasi goreng untuk naganya yang kelaparan dan dibagi-bagikan ke teman-teman kami yang lain. Pukul 7 aktivitas kami biasanya baru benar-benar dimulai. Qani akan membuat susu campur kopi dan memakan roti atau biskuit, begitupun aku yang selalu memulai hari dengan energen dan roti atau biskuit. Syva dan Afifah yang memulai hari dengan makan berat. Atau kadang-kadang kami satu pondokan membeli bubur ayam di Pasar Garung, sementara Mas Puji akan menyingkir karena entah kenapa “alergi” dengan segala hal berbau bubur.

Anyway, iya kami selalu kekurangan air. Di awal kedatangan kami, kami amazed dengan kamar mandi yang besarnya seperti kamar tidur dengan ukuran bak yang juga sangat besar kira-kira 2x1x1,5 m3 dan berisikan penuh air. Tinggal di daerah pegunungan seperti ini tentu kami berekspektasi akan cukup air dong. Tapi ternyata kondisi air melimpah itu tak bertahan lama. Semakin lama kami semakin kekurangan air. Yang awalnya kami ber-14 bisa mandi pagi dari satu kamar mandi yang sama satu hari sekali, lama kelamaan air hanya datang dengan volume besar satu minggu sekali, hingga air tak pernah datang lagi. Kadang ia hanya mengalir kecil, menetes, bahkan sering kali berhenti sama sekali. Yang awalnya kami makan pakai piring, jadi harus beralaskan kertas minyak agar tak perlu boros air untuk mencuci. Yang awalnya kami masih bisa mencuci pakai air bak sendiri, sampai akhirnya kami harus mengetuk pintu rumah tetangga untuk menumpang mencuci piring. Yang awalnya melimpah ruah, hingga akhirnya para lelaki harus rela keluar malam-malam, tengok kanan kiri, jika keadaan sepi maka minta izin ke pos ronda untuk ngangsu air ke kamar mandi. Yang awalnya kami panik, pasrah dan tidak tahu harus bagaimana, lama kelamaan kami mulai terbiasa dan menerima keadaan walau dengan terpaksa. Hingga setiap pagi kami harus berganti-gantian naik motor untuk numpang mandi ke Tempuran atau ke toilet umum Telaga Menjer. Bahkan sampai mengagendakan ke Telaga Menjer malam-malam untuk sikat gigi dan cuci muka sebelum tidur. Atau untuk sekedar buang air kecil dan air besar. Dan menyimpan sebotol air untuk keadaan darurat di pondokan. Apakah ini membuat hidup kami terdengar susah? Kuakui awalnya iya, tapi percayalah akhirnya kami terbiasa dengan kesusahan ini. Kami berhasil melalui hasilnya bersama-sama. Berempat belas.
Gais, percayalah hidup susah yang kita lalui waktu itu akan jadi cerita yang lucu untuk di kenang ketika kita bertemu lagi bertahun-tahun kemudian.

Di awal kedatangan, kami belum kenal siapa-siapa selain Pak Marji sebagai Kepala Desa dan Pak Wakhidun sebagai Sekretaris Desa. Kami kedatangan tamu dua anak kecil bernama Juli dan Wahyu yang sedari siang sampai sore selalu bermain di pondokan kami setiap hari. Awalnya kami acuh, terutama aku, membiarkan saja mereka main layang-layang dan kelereng, atau entah apa pun yang mereka lakukan di halaman pondokan kami. Bukan karena tidak ingin bermain, tapi lebih karena aku tidak bisa memulai perbincangan dengan mereka karena kendala bahasa. Mereka selalu saja berbicara Bahasa Jawa yang entah apa artinya. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba mereka sudah bermain dan bercanda dengan Baping dan Mbak Kiki, sementara aku hanya bisa melihat mereka tertawa dan mengolok-olok satu sama lain dari depan pintu. Aku ikut tertawa saja. Lucu memang, bukan karena apa yang mereka bicarakan, tapi karena logat mereka yang khas. Medhok dan ngapak. Kata mereka itu bukan Bahasa Jawa, tapi Bahasa Maron. Beberapa kali kami dongkol, karena selama bermain mereka pernah menjengkelkan. Tapi kami sadar, tidak ada yang mereka inginkan selain kebahagiaan masa kanak-kanak. Sesederhana mengetuk pintu lalu kabur, diulangi berkali-kali sampai kami jengkel. Atau mengatakan hal-hal aneh, yang kami tidak mengerti, lalu kami jengkel. Anyway, mereka juga lah akhirnya yang banyak membantu kami selama di sana. Mereka membantu kami mencari rumah warga. Mereka membantu kami mencari banyak sekali kain batik untuk dekorasi expo. Mereka memanggil teman-teman mereka untuk main di pondokan supaya kami tidak dikira sombong dan tertutup. Akhirnya mereka seperti malaikat kecil yang dikirim Tuhan untuk kami. Juli, Wahyu, apa kabar? Jangan lupa sama kami ya..


#AfterKKNLyfe
6 Agustus 2016.
Hari terakhir sebelum pulang.

Aku memulai hari dengan perasaan yang entah. Ogah-ogahan, tapi harus cepat. Agenda kami padat hari itu. Sayangnya, bukan agenda yang menyenangkan. Kami harus berpamitan, which means goodbyes and i always hate goodbyes.

Kami memulainya dengan berpamitan pada orang-orang yang kami anggap berpengaruh selama kami KKN, seperti Pak Kades, Pak Sekdes, tetangga dekat, Juli dan Wahyu, Ibu Kadus Tempuran, Pak Karang Taruna, Pak Galon, Pak Mie Ayam, dll. Tapi, baru beberapa rumah, tiba-tiba Maron dikunjungi hujan. Hujan yang deras dan panjang tak seperti biasanya. Seakan dia tau, kami tak seharusnya mengucapkan selamat tinggal pada Maron. Atau mungkin yang hujan inginkan adalah kami menghapus keengganan kami, memberi kesadaran bahwa hidup berlanjut. Bahwa, apa yang telah terjadi memang indah, maka kenanglah, dan tetaplah berjalan. Bahwa, hujan di malam terakhir itu telah menanam rapi kenangan itu ke dalam buku-buku di perpustakaan otak besar, juga di lubuk hati paling dalam.

Malam terakhir kami menginap di rumah putih itu aku berharap agar malam terasa lebih panjang, agar waktu tak cepat berlalu. Saat aku beranjak tidur, diam-diam aku tak langsung tidur. Aku mengubur diri di bawah selimutku, mengingat dan mengingat lagi setiap detil detik yang pernah kami lewati. Aku hanya sekedar ingin menikmati ruang tidur kami yang remang-remang, dan ruang tidurku di antara Qani dan Syva. Juga sekedar mendengarkan Mbak Kiki, Oca, dan Putri melakukan golden time terakhir di Maron. Aku belum ingin pulang.

Memang terkadang situasi hidup susah membuat kami lelah dan ingin sudah segera, tapi setelah kami pikir-pikir lagi kami tak ingin cepat-cepat kembali ke Jogja, berpisah, dan menjalani hidup yang penuh hiruk pikuk kesibukan dunia. Kami pasti akan merindukan suasana Maron yang ramai tapi tenang, udaranya yang sejuk dan segar, bersih dan jauh dari polusi, dan segala hal yang telah membuat kami nyaman selama 7 minggu tinggal di sana. Semuanya terasa sangat murni di sini. Rumah putih itu benar-benar sudah seperti rumah buat kami – (atau setidaknya buatku).

7 Agustus 2016.
Maron-sick.

Di hari kepulangan, Wahyu dan Juli sudah datang pagi-pagi untuk melepas kepergian kami. Manis sekali ya, kan? Diperlakukan seperti ini, bagaimana tidak ingin menangis? Tapi gengsi terlalu tinggi. Aku malu ketauan menangis, jadi kutahan sekuat tenaga agar tidak mengalir. Mbok seminggu meneh to mas. Mumet aku. Wahyu merajuk karena kami akan segera meninggalkannya. Yu, kami mau kok seminggu lagi. Tapi ya gimana.. 

Pamitan
Bye bye Maron, Tlogo, Tempuran, Seroja, Telaga Menjer, Rumah Putih, Juli, Wahyu, Rama, Kingkong depan pondokan, Pak Marji, Pak Wahidun, Pak Joko, bakso ayam depan pondokan, Pak Galon, Pak Mie Ayam, toilet Telaga Menjer, Ibu Kadus Tempuran, Rizki, kolam belakang pondokan, gunung-gunung, jipang, kamar mandi yang nggak ada airnya, tikus-tikus di pondokan, tempe kemul dekat pos ojek, Mushola Al Karim, Masjid Darul Falakh, SD N 1 Maron, dan semua yang ada di sana.

Sesampai di rumah dua kali aku memimpikan Maron. Yang pertama, aku memimpikan hari Minggu, sedang piket, sepulang belanja dari Pasar Garung, dan bercanda tawa bersama teman-teman di dunia atas sebelum aku memulai pertempuran di dapur. Yang kedua, aku mimpi sedang berjalan dari pondokan bersama teman-teman ke Telaga Menjer, pagi-pagi, dengan jaket biru khas KKN kami. Aneh rasanya, apalagi aku hampir tidak pernah mimpi waktu tidur. Aku memang rindu Maron sebegitunya.

Satu hal lagi, aku yang awalnya apatis dengan KKN akhirnya dibuat bersyukur telah mengalaminya. Kukira setelah KKN berakhir, pertemanan kami akan berangsur-angsur pudar, tapi ternyata inilah #AfterKKNLyfe-ku. Keluarga Al-Maroni yang masih dan (semoga) akan terus dekat. Sehari setelah kepulangan kami foto studio bersama. Merekam keceriaan dan wajah-wajah rindu Maron kami dalam frame-frame foto, sekaligus melepas rindu dengan teman-teman yang tinggal satu atap selama 49 hari. Setelah itu pun kami masih punya banyaaakk agenda yang menanti, seperti beachcamp (yang ini harus antiwacana), ditraktir Baping makan opor (ya kan, Ping? Haha), dan banyak lagi yang sekedar kongko-kongko melepas rindu. Malam pertama berpisah dengan mereka rasanya aneh, sepi sekali. Tidak ada tidur berpepes-pepes ria lagi. Tidak ada yang membangunkan jam 5 lagi. Dan tidak ada kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi rutinitas selama kami tinggal di rumah putih. Rasanya... seperti ada yang hilang. Ganjal.

Satu bulan setelah kepulangan kami, kami masih sering berkumpul. Walaupun agak sulit membuat semuanya bisa hadir, tapi cukuplah untuk bisa melepaskan rindu dan melanjutkan golden time kami. Sudah satu bulan pun, aku masih terbayang-bayang Maron, rumah putih dan teman-temanku. Waktu naik motor berangkat ke kampus, sering tiba-tiba terbayang jalanan depan pondokan dan jalanan menuju Tempuran yang berkelok. Waktu ketiduran di kamar, aku bangun dan tersadar kalau aku tidak lagi berpepes-pepes ria. Lalu tadi apa? Aku mimpi atau hanya membayangkan? Gais, aku kangen. Kalian kangen kayak gini juga nggak sih?

Maron, apa kabar kamu hari ini? Masihkah subuhmu bersuhu 13°, siangmu 20°, dan malammu 16°? Atau saat ini sedang hujan dan berkabut tebal? Tapi anginnya tidak sampai memporak porandakan parkiran Telaga Menjer kan? Itu akan susah dibersihkan... Telaga Menjer apa kabar? Sudah sebagus yang di masterplan belum? Pengunjungnya makin banyak kan? Sering kulihat di instagram, banyak yang foto-foto di giant font dan di gethek. Wah, jadi kangen suasana sejuk Telaga Menjer. Rumah putih apa kabar? Masih dijagain kingkong depan rumah nggak? Sudah ada air belum sekarang? Masih sering dipakai main sama anak-anak nggak? Terimakasih rumah putih, sudah jadi saksi bisu pembicaraan kami, golden time dan platinum time, drama romantika, dan semua kebiasaan yang menjadi rutinitas kami lakukan di sana. Rumah putih, aku kangen!

Juli dan Wahyu apa kabar? Waktu kami pulang kalian udah bilang lho mau jadi siswa teladan (telat datang pulang edan – kata Wahyu). Wahyu gimana pelajaran matematikanya? Udah bisa kan sifat-sifat dasar matematikanya? Terakhir belajar sama aku, udah lancar lho. Belajar yang rajin ya, sebentar lagi mau UN. Pak Marji apa kabar? Apakah masih semengagumkan yang kukenal, berdiri tegar memperjuangkan kesejahteraan masyarakatnya? Begitu juga Pak Wakhidun dan Pak Joko, semoga hal baik yang telah mereka lakukan untuk kami dibalas oleh Allah. Dan apakah Ibu Kadus Tempuran masih bekerja keras untuk PAUD? Terimakasih Bu, atas setiap kebaikan, pinjaman kamar mandi, pertolongan, canda tawa dan obrolan yang tidak pernah habis. Semoga kebaikan-kebaikan Ibu akan membawa Ibu ke kebaikan-kebaikan yang lainnya.

Dua bulan berlalu, tapi Maron masih mengisi penuh ruang rindu di sudut kalbu. Jauh sebelum ini, aku hampir yakin kesibukan dan rutinitas kuliah akan menggusur jauh rasa rindu. Kupikir, ada yang salah denganku. Dan aku terlalu malu.

Maron, kapan-kapan aku main ke sana lagi ya!

Comments

Popular Posts