Bahagia Itu Sederhana
Mungkin yang pernah baca blog post saya sebelum-sebelumnya akan berpikir bahwa saya ini plin plan karena menulis dengan judul yang sama tapi dengan isi yang berbeda. Well, i'm not. People change, don't they? So do I. That everyone wants to be a better person.
Sebenarnya sudah agak lama saya menyadarinya, bahwa banyak sekali hal-hal kecil yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Mungkin itu terlalu terlambat, tapi masih lebih baik daripada lebih terlambat lagi. Orang-orang di sekitar saya, orang tua saya, kakak adik saya, lingkungan saya, apa yang saya miliki ini, yang walaupun kadang ada hal-hal yang membuat saya sebal, telah menjadi sumber kebahagiaan saya. Syukur dan menerima, tentunya akan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan apabila kita memilikinya.
Dan saya semakin merasa diingatkan setelah tidak sengaja menemukan sebuah post di wordpress sepupu saya. Hmm.. ya, ini tentang keluarga besar saya, simbah saya, yang begitu mengagumkan kisah hidupnya.
Semoga kita selalu ingat dan bisa selalu mengingatkan untuk selalu bersyukur :)
http://amimahabba.wordpress.com/2013/02/20/718/
Sebenarnya sudah agak lama saya menyadarinya, bahwa banyak sekali hal-hal kecil yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Mungkin itu terlalu terlambat, tapi masih lebih baik daripada lebih terlambat lagi. Orang-orang di sekitar saya, orang tua saya, kakak adik saya, lingkungan saya, apa yang saya miliki ini, yang walaupun kadang ada hal-hal yang membuat saya sebal, telah menjadi sumber kebahagiaan saya. Syukur dan menerima, tentunya akan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan apabila kita memilikinya.
Dan saya semakin merasa diingatkan setelah tidak sengaja menemukan sebuah post di wordpress sepupu saya. Hmm.. ya, ini tentang keluarga besar saya, simbah saya, yang begitu mengagumkan kisah hidupnya.
Semoga kita selalu ingat dan bisa selalu mengingatkan untuk selalu bersyukur :)
http://amimahabba.wordpress.com/2013/02/20/718/
Gratitude, -a reminder
My Aunt, Emi Dzulaifah’s writing showed up in my facebook timeline just in time as a reminder to stop being grumpy the whole day. It’s a worth sharing notes. :) Happy reading..
Gratitude does make a difference/ Bersyukurlah maka kehidupan jadi berbeda
by Emi Zulaifah Irsyad on Sunday, April 19, 2009 at 8:07pm
Saya ingin mengawali semuanya dengan penuh rasa syukur.
Setiap realitas yang kita hadapi selalau bisa kita interpretasi dengan beberapa cara. Our brain construct meanings and it helps us to make representations of realities so that we understand it (otak kita membangun pemahaman, dan itu menolong kita untuk membuat gambaran tentang kenyataan sehingga kita memahaminya) . There it comes… our understandings of our surroundings (Demikianlah bagaimana kita memahami apa yang terjadi di sekitar kita). We create, we interpret, we construe (Kita menciptakan, memaknai dan menyadari– realitas apa yang sedang kita alami).
Suatu pengalaman, baik atau buruk dengan demikian bisa kita maknai, dengan beberapa cara. Bisa dengan nada “keluh kesah” (protest, nggrundel) atau dengan penuh syukur. The difference is thin. It’s just a matter of letting in an interpretation to your brain and some further affective involvement to your heart. But the impact is greatly different.
Dengan berkeluh kesah, hal yang bisa mendatangkan hikmah berubah menjadi kesedihan, hal yang indah menjadi “umpatan”, hal yang istimewa menjadi menjengkelkan. Apa yang kemudian mengikutnya? Capek. Kita menjadi capai, lelah dengan semua interpretasi negatif yang sesungguhnya kita ciptakan sendiri.
Jika kita hadapi itu semua dengan rasa syukur, yang berat jadi ringan, yang menyedihkan/ menjengkelkan jadi penuh hikmah, yang sulit… ternyata ada juga jalan keluarnya. Syukur, dengan demikian sungguh menjadi suatu rahmat / kenikmatan yang tak terhingga bila kita memilikinya.
I was amazed once at a friend who asked “Mbak, menurut pengamatanmu, saya ini banyak keluh kesah atau tidak.” To my surprise, ternayata anak ini sebenarnya sangat jarang berkeluh kesah. He does what he can, dengan sepenuh hati. He is honest when he can not or not yet able to do it. Sadar atau tidak sadar sebenarnya saya sedang belajar saat itu darinya. “O… begitu mestinya mensikapi tugas-tugas dan kewajiban kita, tak perlu keluh kesah dan protes, in the end we have to do it anyway. Jika kita lihat dengan keluh kesah semuanya menjadi beban.
Bersyukur (gratefulness or gratitude) baik dijadikan sikap karena 1) It, generates a lot of positive energy to ourselves and our surroundings. 2). Apapun yang kita peroleh ternyata sebenarnya ada yang telah berkorban untuk kita. Suatu hari saya ditegur karena sering menyia-nyiakan makanan, kata-kata seorang sudara seperti ini: Setiap bulir beras itu ada tetesan keringatnya petani. Waduh… betul juga ya. Orang seringkali tak mampu menyukuri karena percaya semua ia peroleh berkat upayanya sendiri tak ada bantuan siapapun. Betulkah? sekali-kali mungkin kita perlu berpikir ulang tentang apa yang sudah orang-orang di sekitar kita korbankan (materi, psikologis, tenaga, waktu dlll) untuk berjalannnya episode kehidupan kita. Cobalah kita lakukan…. Betul kan…. telah banyak yang berkorban?. Tak heran kita diperintah untuk bersyukur dan berbakti.
Bahwa bersyukur menciptakan nuansa positif, membawa saya pada ingatan masa kecil… yang kendati prihatin, tak banyak keluh kesah yang saya ingat — dalam semua sisi berat kehidupan yang harus kami lalui se keluarga. Bagian yang saya ingat ini tentu saja bagian kehidupan paska meninggalnya ayahanda tercinta. Sebelum itu tak banyak yang saya dapat kenangkan. O… kecuali kisah bahwa ayahanda adalah seorang yang sangat aktif secara sosial, pejuang gerilya yang tak mau diberi tunjangan veteran setelah perang berakhir. Ia menolak, saya yakin karena tak ingin “eternal” reward berupa ridha dariAllah akan tercabut kalau dibayar dengan pensiun veteran. Sikap bapak mengingatkan saya pada puisi Taufik Ismail tentang Sersan Nurcholis si tukang arloji (Bapakku banget ya –istilah anak muda sekarang– puisi itu ternyata). Puisi tahun 60-an itu bisa dilihat di link ini
Tahun 1974 bapak wafat, dengan 11 anak yang ditinggalkan, dan seorang istri yang banyak keterbatasan (pendidikan, akses ekonomi), namun memiliki hati yang teramat luas. Ini beberapa cuilan kenangan itu:
1. Ibu ke pasar, mensuplai abon, dendeng daging dan segala hasil memeras keringat yang telah ia lakukan, dengan tenang dan penuh syukur. Berjalan kaki pulang dan pergi (ibu agak pemalu ternyata, dan tak suka diantar-antar). Jika ketika ia pulang kami telah di rumah, dan melihatnya tengah berjalan dari ujung jalan perkampungan kami, maka kami akan segera keluar rumah, menyusul dan menyambutnya untuk membawakan beban belanjaan yang ia bawa dari pasar. Lhoh, ini kok kayak iklan gudang garam tunjukkan merahmu ya. Tapi ini bukan iklan, this was our real habit and experience.
Di tengah malam, ketika saya terbangun dari tidur (ngelilir) sering saya dengar bisik doanya dalam sholat-sholat malamnya. Saya menjadi tenang, entah kenapa. Dalam dzikirnya nya yang panjang, saya dengar Ibu menyebut nama saya dan nama-nama saudara yang lain dan meneruskan doa-doanya (kadang-kadang saya sengaja menguping ingin tahu, apa ya yang dipanjatkan Ibu untuk saya?). Ada kesyukuran, kepsrahan yang dalam dan ketabahan luar biasa saya lihat pada dirinya.
Pernah suatu kali saya tanyakan ke Ibu, apakah terkejut dan susah dengan setiap kehidupan yang muncul dalam rahimnya karena sampai begitu banyak?. Ibu cuma mengatakan setiap tahu ternyata dikaruniai kehamilan, hatinya berkata ” Maturnuwun… ya Allah”. Karena ia rajin mengaji ia yakin anak akan menjadi salah satu kebahagiaannya, apa pun yang terjadi. Bukankah ketika mereka (anak-anak) ini menguji dan kita sabar, Allah is pleased dan ketika mereka berbakti lalu kita bersyukur, Allah is pleased too. Di mana letak kesusahannya?. Paska meninggalnya bapak, dan mungkin kesedihannya sudah mulai reda, Ibu berkata dalam hatinya “Allah memberi tugas untuk mengasuh anak-anak yatim ini. Ini tiket saya untuk dekat kepadaNya.” Things are never bad in her eyes. It’s always good. Jadi ingat kata-kata Syaikh Abdulqodir Jailani” Apa yang datang dari Allah, tak pernah buruk, dan katakanlah “Baik” pada setiap peristiwa yang menimpa.” Saya tak tahu apa seluruh saudara tahu tentang detail seperti ini, tapi Ibu sering menceritakannya ke saya (dan saya memang rajin bertanya kepadanya karena sering mengagumi keajaiban hati dan kehidupannya).
Belum lama saya tanyakan ke beliau, Bu seandainya ibu diuji dengan kekurangan pada diri anak, ya bisa macam-macam bentuknya, misal sakit, kelemahan dan semacamnya, apakah Ibu akan bersedih?. Ya susah tentu saja, tapi itu semua mudah untuk kita pegang, ketika kita ingat bahwa semua itu hanyalah ujian dari Nya, tak ada yang susah lagi dan kita cuma harus rela. Subhanallah. Di usianya yang merangkak menuju 90, thin and frail, she is still my pearl. Hidden somehow in the “hustle bustle” of our busy life. Dunia betul betul tak pernah memberatkannya.
2. Para kakak, mengayuh sepeda ke sekolah. Wirobrajan-UGM, bolak-balik. Dengan tanpa lelah. Karena … mungkin penuh syukur telah bisa kuliah sedangkan ribuan yang lain tak mampu menembusnya. Dalam semua keterbatasan ini, teman mereka banyak betul, datang dan pergi, hangat, ramah dan tentu saja all nice young people, hopeful and optimistic about their life and future.
“Dan saya? Ketika tak ada uang jalan… ya bersepeda ke mana saja. Tak ada uang jajan, ya menghemat uang bis dengan jalan kaki supaya bisa mendapatkan es klamud dari warung dekat rumah. Baru sekitar 10 tahun yang lalu saya tahu yang seperti ini jadi cikal-bakal dari apa yang disebut dengan kemamuan untuk “delay gratification” alias menunda kesenangan untuk sesuatu yang lebih bermakna. Delayed gratification, hal yang langka bagi masyarakat yang berorientasi instant dan mencari kesenangan (pleasure seeker).
Baju…? we were not spoiled with that. Out of fashion, most of the time. Celana seragam seperti warga asrama panti asuhan untuk para kakak laki-laki. Dulu celana bercorak biru kotak-kotak seragam itu dibuat dengan kain dari mana ya?, saya tak tahu. But we have some nice ones (dresses) during lebaran from our generous uncles and brothers and sisters. Biasanya ini beberapa baju bagus-bagus yang bisa dimiliki anak seusia saya dan bisa bertahan tetap bagus hingga ke tahun berikutnya. May Allah replace their generosity with many better things (suatu saat akan saya cari foto-foto penuh kenangan tentang kesederhanaan ini). Semua keadaan itu kami terima dengan senang, tak menuntut dan memang tak kepinginan untuk senang memiliki benda-benda yang belum tentu mendatangkan banyak manfaat. It’s totally simple, humble, but loving, warm and happy.
3. Saya masih ingat, suatu hari Ibu ingin menyenangkan kami dengan membeli Radio Cassette player and recorder bekas. Lupa saya mereknya, yang jelas benda ini Non stereo. Lagu yang semula kami hanya bisa mendengar dari rumah tetangga atau setelan transistor mini yang kami punyai, kini bisa kami dengar langsung dengan lebih baik. Selain itu bisa pula kami coba berbagai koleksi, pilihan sendiri. Betapa kami terhibur. Ada saja teman yang menawarkan supaya kasetnya kami pinjam dan coba, termsuk kaset penyanyi bernama Mariantje Mantauw dengan lagu berjudul bumi semakin panas (woh… berarti sudah sejak tahun 70 an kenaikan suhu ini dirasakan?). Lewat benda ini pula saya jadi kenal Nia daniati dan Iis Sugianto, Ebiet g Ade dan Chrisye. Bolak-balik saya mendengarkan Nia dan Iis , dan lama-lama bisa menyimpulkan sendiri cengeng sekali lagu-lagunya ya. Kemudian, salah satu kakak ternyata mencoba mengapresiasi musik klasik, dan dari media bersuara “sember” ini komposisi Johann Strauss termask gitar Francis Goya mengalun, indah di telinga kami. Dan… karena senang bernyanyi, apresiasi saya terhadap alat rekam adalah dengan merekam suara saya menyanyi, lagu apa saja yang saya ketahui, dan sangat terhibur mendengarkan rekaman sendiri. Kini, yang seperti ini digantikan dengan karaoke ya…
4. This humble life continues…. sampai saat saya harus bikin banyak paper ketika kuliah. Masih pada ingat mesin ketik tahun 1980 an? dulu belum banyak yang punya komputer kecuali kita punya uang yang cukup untuk membelinya. Saya ingat, harus berbagi dengan kakak saya yang sedang skripsi untuk menggunakan mesin ketik merek brother, lungsuran (bekas) dari kakak yang telah lulus dari FISIP UI, karena ingat adiknya masih kuliah, mesin itu dikirim ke Jogja. Yang lain mulai beranjak ke word processor, tahun itu, namun mesin ketik ini pula yang mengantarkan saya mendapatkan beasiswa JAL scholarship ke Jepang. Kuliah musim panas di Sophia University. Selalu, ketika menyiapkan karangan untuk seleksi beasiswa ini, saya menunggu kakak perempuan saya selesai mengetik baru kemudian saya ambil giliran saya untuk membuat paper 2000 kata. Sambil agak malu-malu saya menyerahkan paper ke kemahasiswaan UGM, tak PD dengan format ketikan saya yang amat sederhana, paper-paper lainnya terketik rapi sekali dengan word processor. Kalau rejeki dari Allah siapa tahu? kata saya dalam hati. Ternyata reviewer dari FIB menyetujui paper saya yang maju ke seleksi selanjutnya. Alhamdulillah… rejeki tak dapat ditolak. So… this life was totally simple, humble, but loving, warm, happy and what’s more is: there were plenty of gifts from Allah. Kesederhanaan yang agak ekstrim, meskipun tak terlalu ekstrim dibanding banyak kemiskinan di Indonesia. Tapi , semuanya Indah. We loved that part of life, We felt grateful that we went through it.
Dengan bersykur, ternyata semua kesulitan itu telah membentuk kami menjadi lebih tabah. Sungguh… saya hayati benar kalimat ini “Rahmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan.” Terlalu banyak yang harus kita syukuri ternyata. Tidak hanya yang serba mepet dan kurang itu jadi cukup, ternyata yang sulit pun jadi Indah. Jadi megapa harus berkeluh kesah dan marah sementara banyak sekali hal-hal baik yang dapat kita syukuri.
Adalah potongan ayat yang sebenarnya mengingatkan saya tentang gratitude ini. It says ” Dan ketika usia mereka telah mencapai 40 tahun mereka berdoa Ya Allah tunjuki kami untuk selalu mensyukuri nikmat yang telah engkau limpahkan kepada kami. Sebagaimana nikmat yang telah Kau berikan kepada kedua ornag tua kami. Dan tunjuki kami agar dapat berbuat kebaikan/ kesalehan yang engkau ridhai. Karuniakan kebaikan kepada kami dengan memberi kebaikan kapada anak keturunan kami. Sesungguhnya kepadaMu aku kembali (bertaubat) dan aku termasuk orang yang berserah diri.”
With Ibu: this wise, loving and patient old woman is my mother.
Cinta sepanjang hayat
Comments
Post a Comment